9:17 PM

Lanjutan ...
STATEMENT SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X



Alasan Filosofis

Pada waktu sebelum kelahiran RI, ada sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) rechtsgemeenschappen (masyarakat hukum adat) yang masing-masing memiliki otonomi yang sangat luas, termasuk Negeri Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kedua daerah ini dalam bahasa Belanda disebut vorstenlanden atau Kerajaan. Masyarakat hukum adat semacam ini diikat secara politis oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan korte verklaring (kontrak jangka pendek) dan lange contracten (kontrak jangka panjang).

Pada waktu itu, Nagari Ngayogyakarta dan Pakualaman telah mempunyai dasar hukum atau koninklijk besluit dari Ratu Wilhelmina sebagai sebuah daerah yang berdaulat, sehingga secara hukum internasioanal,kedudukannya sama dengan sebuah negara, sehingga pada waktu RIS, Belanda tidak dapat masuk ke Yogyakarta (agresi militer ke II Hindia Belanda), dan oleh karenanya, Yogyakarta dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia (Serikat), karena secara hukum internasional kedaulatan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman memang dihormati. Pengakuan (recognition) dan penghormatan (respectation) tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi,melainkan sebuah fakta politis dan empiris yang tidak mudah dihapuskan (dihancurkan) oleh kondisi zaman yang berubah.

Sebagai negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, NKRI pada waktu itu sangat membutuhkan pengakuan (dan dukungan) dari negara lain, sehingga keputusan bergabungnya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman memiliki arti sangat penting bagi RI karena telah memberikan wilayah (beserta kedaulatannya sebagai daerah berstatus istimewa/terhormat) dan penduduknya secara kongkrit bagi RI.

Analogi penggabungan kedua negara itu (RI dengan Ngayogyakarta+Pakualaman) kemudian sering dikenal dengan istilah IJAB QABUL, dimana ada pihak yang menyerahkan kedaulatannya (Ngayogyakarta Hadiningrat & Kadipaten Pakualaman) dan ada pihak yang menerima kedaulatan tersebut (NKRI), selanjutnya diberi mahar/mas kawin (sebagai daerah setingkat Provinsi yang bersifat istimewa). Dalam hal ini Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII mewakili Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, dipihak lain Ir.Soekarno mewakili NKRI, sehingga tidak bisa begitu saja menafikkan daya IJAB QABUL yang telah disepakati bersama tersebut.

Dalam perspektif hukum internasional, perjanjian kedua negara tersebut biasa dikenal dengan Bilateral Treatis. Azaz hukum Pacta Sunt Servanda menyatakan bahwa setiap perjanjian mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan yang dimaksud.

Setelah bergabung dengan NKRI, praktis penyelenggaraan pemerintahannya mengikuti sistem yang dianut oleh RI kecuali dalam hal mekanisme pengisian jabatan Kepemimpinan daerah (hak otonomi daerah Istimewa) Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak terikat syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya di NKRI. Kepemimpinan DIY tidak dapat disebut Monarchy, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kekuasaan yang sangat terbatas sebagaimana diatur dalam UU.no.32/tahun 2004, disamping itu keluarga Raja tidak mempunyai hak-hak khusus atau istimewa dalam pemerintahan.


Alasan Yuridis

Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Prov DIY yang telah berjalan selama ini secara konstitusional, hal ini sejalan dengan bunyi pasal 18B UUD 1945. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa, seperti Aceh, DIY dan Papua (dikenal dengan istilah lex-Specialist). Sementara pasal 18 ayat (4) dimaksudkan untuk mengatur daerah-daerah lainnya (lex-generalist).

Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan wakil Gubernur Prov DIY yang demikian berdasarkan teori hukum yang merupakan hak konstitusional bersyarat (fundamental rights constitutional condition) artinya, sepanjang tidak menyalahi konstitusi dan sepanjang masih berlaku serta mendapat dukungan luas dari masyarakatnya, maka proses yang demikianlah konstitusional.

Sebagai sumber hukum tertinggi, Pasal 18 UUD NKRI 1945 dan juga pasal 18B UUD 1945 hasil Amandemen, disebutkan; menghormati asal-usul daerah yang bersifat Istimewa. Pada konteks kekinian jaminan keistimewaan dalam Undang-undang Dasar tersebut diberikan bukan sebagai bentuk hutang budi politik atau kompensasi atas penggabungan (fusi) dari diri Nagari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman pada NKRI, melainkan murni pengakuan dan penghormatan yang obyektif.

Ayat (1) dan ayat (2) dari pasal 18B UUD 1945 mengandung norma-norma imperatif, yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Atas dasar hal tersebut,maka makna keistimewaan sebagaimana dimaksud menunjukkan konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi pemerintah daerah yang penyelenggaranya “dikecualikan”. Sejalan dengan hal tersebut, selanjutnya dijadikan rujukan dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintah daerah yang dari waktu ke waktu mengalami dinamika dan pasang surut.

Pengaturan pemerintah daerah diawali dengan UU.no.1 tahun 1945,dalam UU ini disebutkan bahwa “Komite Nasional Daerah (KND) diadakan kecuali di daerah Surakarta (Solo) dan Yogyakarta”, dalam penjelasan disebutkan bahwa pengecualian ini merupakan implikasi dari Piagam Penetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Ir.Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.

Selanjutnya UU no.22 tahun 1948, dengan jelas menyebutkan bahwa daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum RI mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan zelfbesturende landschappen. Daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari RI. Dalam UU ini, keistimewaan DIY diberikan dalam hal penentuan kepala daerah dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa diangkat oleh pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan mengingat adat istiadat di daerah itu. Sedangkan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berbeda dengan pemerintah daerah lainnya.

UU no.1/tahun 1957
Pada intinya melanjutkan apa yang telah diatur di dalam UU no.22 tahun 1948. Isi keistimewaan bahwa kepala daerah diangkat dari calon yang diajukan DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum RI dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah Yogyakarta.

UU no.18/tahun 1965
Tidak mengatur secara jelas tentang keistimewaan DIY, namun di dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa daerah tingkat I dan DIY berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU no.1/tahun 1957. Lebih lanjut dalam pasal 88 ayat (2) point/huruf (a) dan huruf (b) disebutkan bahwa: ”sifat istimewa suatu daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 UUD yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan istimewa atas alasan lain, berlaku hingga dihapuskan.

UU no.5/tahun 1974

Dalam UU ini, ciri keistimewaan pada kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu : Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya.

UU no.22/tahun 1999
Mengatur bahwa keistimewaan untuk Prov DI Aceh dan Prov DIY sebagaimana dimaksud dalam UU no.5/tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintah Prov DI Aceh dan Prov DIY didasarkan pada UU ini.

UU no.32/tahun 2004 pasal (225)
Menyebutkan bahwa daerah-daerah yang memiliki satus istimewa dan diberikan otonomi daerah khusus selain diatur dengan UU no.32/tahun 2004 diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur UU lain. Lebih lanjutnya disebutkan bahwa ketentuan dalam UU.no32/tahun 2004 berlaku bagi Prov Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Prov Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Prov Papua dan Prov DIY sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU tersendiri. Sampai dengan saat ini, DIY satu-satunya daerah yang belum diatur secara khusus dalam UU tersendiri sebagaimana amanat konstitusi. Pengaturan keistimewaan DIY selama ini hanya “ditempelkan” dalam UU Pemerintahan Daerah.

Seharusnya DIY juga telah diatur dalam sebuah UU tersendiri sebagaimana halnya tiga daerah lainnya. Secara teoritis pengaturan yang demikian merupakan salah satu bentuk pelaksanaan desentralisasi asimetris, dimana derajat desentralisasi antar unit pemerintahan yang satu dengan yang lainnya dibedakan, dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan stabilitas nasional, dan juga untuk mengakomodasikan daerah-daerah yang memiliki status khusus dan istimewa, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi.

Awal Alasan historis 
alasan Sosiologis dan Teoritis