9:41 PM

Berbagai kalangan terpelajar, orang yang bijak, agamawan, pelaku sejarah hingga orang yang menghargai sejarah telah secara seksama menyatakan bahwa Keistimewaan Yogyakarta adalah Harga Mati. Berbagai sudut pandang telah dinyatakan oleh mereka. Dan semua menyatakan hal yang sama.
Hal yang sama pula yang diutarakan Kanjeng Sultan Hamengkubowono X dan Paku Alam IX di hadapan DPR RI hari ini. Dalam pertemuan tersebut juga Kanjeng Sultan memberikan 9 catatan penting tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta antara lain :

Pertama : Mengenai Judul RUU yang tidak tepat.
Merujuk Pasal 18 B ayat 1 UU Nomor 3 tahun 1950 Dearah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah setingkat dengan Provinsi. sehingga tidak bisa disamakan dengan Provinsi

Kedua : RUU  Keistimewaan DIY tidak mencantumkan dasar filosofis Pancasila.

Ketiga : Istilah Gubernur Utama bertentangan dengan Jiwa Keistimewaan DIY
Dengan memunculkan istilah Gubernur Utama / Paradhya maka sangat bertentangan dengan Roh Keistimewaan DIY, padahal ketika Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat membantu RI dengan bergabung dengan NKRI, hanya ada istilah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Keempat : Negara tidak mengenal istilah Gubernur Utama, sehingga ketika ada  pihak yang mengajukan judical riview RUU Keistimewaan DIY atas jabatan gubernur dan wakil gubernur utama, maka ke Mahkamah Konstitusi alhasil keistimewaan Yogyakarta akan hilang. Hal ini tentu berbahaya bagi eksistensi DIY.

Kelima:  Pasal 1 angka 14 perihal Peraturan Daerah Istimewa Provinsi Yogyakarta bukan menjadi ciri asli keistimewaan DIY. Melainkan meniru model konun di Naggroe Aceh Darussalam dan Majelis Rakyat Papua di Papua. Hemat Sultan, lebih tepat diatur dalam Perda sebagaimana yang sudah dijalankan selama ini.

Keenam : Batas pembagian wilayah Timur dalam RUU Keistimewaan DIY salah.
Kondisi nyata membuktikan sebelah timur DIY tidak hanya berbatasan dengan Klaten, Jawa Tengah, tapi juga Sukoharjo dan Wonogiri, Jawa Tengah.

Ketujuh:  Terkait pertanahan dan penataan ruang, kesultanan dan kadipaten pakualaman sebagai badan hukum tidak sinkron dengan penjelasannya. Sultan khawatir jangan-jangan naskah akademik dari pemerintah sama dengan RUU pada periode 2004-2009.

Kedelapan, Sultan mempertanyakan pasal yang menegaskan kesultanan dan kadipaten pakualaman sebagai badan hukum. Pertanyaannya apakah masuk ranah privat atau publik. 'Seharusnya Sultan dan Paku Alam disebut subyek hak atas tanah, bukan badan hukum," kata Sri Sultan.

Terakhir, sembilan, prinsipnya pemerintahan daerah bukan ranah eksekutif . Artinya bukan pembagian kekuasaan, tapi wewenang antara gubernur, wakil gubernur dan DPRD. "Secara khusus kami sudah memberikan sembilan catatan. Kami harap angka sembilan memberikan sinyal. Hal-hal yang terperinci kami beri dalam daftar inventarisasi masalah. Kami mengajak semua pihak berfikir jernih," kata Sri Sultan.






catatan kecil :
Gagasan yang dilontarkan oleh Pemerintahan SBY ( Partai Demokrat ) merupakan bukti bahwa mereka telah menghianati kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pendiri NKRI dengan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pemimpin Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Gagasan dalam RUU yang telah dilontarkan Sebuah pelecehan yang mendasar terhadap keistimewaan Nagari Nayogyakarta Hadiningrat. Saya sebagai Warga Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat Siap untuk mendukung REFERENDUM dan mengajak semua Warga Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat untuk siapsedia terhadap kemungkinan tersebut.