9:20 PM
Lanjutan ...
STATEMENT SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X
Alasan Sosiologis
Bagi masyarakat DIY, keistimewaan tidak hanya bermakna pemberian hak previlage bagi keturunan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dalam bentuk jabatan GUbernur dan Wakil Gubernur, melainkan dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri (kedaulatan) masyarakat yang dalam sejarah perjalanan bangsa RI ini diberi tempat dan diakui secara konstitusional (baik oleh NKRI maupun dunia internasional). Berpijak dari kenyataan itulah, maka ketika banyak yang mempermasalahkan status keistimewaan DIY, maka ukuran yang dipergunakan menjadi sangat politis.
Ada yang beranggapan bahwa yang telah berjalan selama ini dianggap sudah tidak sesuai dengan tantangan zaman dan demokratisasi. Secara filosofis vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan), sebagai ruh demokrasi menunjukkan bahwa ukuran demokrasi harus benar-benar berpijak pada kepentingan dan kehendak rakyat. Apabila melihat realita dinamika masyarakat di DIY yang sebagian besar masih menginginkan praktek yang telah berjalan selama ini tetap dipertahankan, maka seharusnya keinginan tersebut diakomodasikan. Dalam perspektif ini, demokrasi tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan dipilih dan memilih, tetapi demokratisasi harus bias mengakomodir aspirasi rakyat.
Pandangan demokrasi di Indonesia telah terwadahi dalam sila ke-4 Pancasila, yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Saat ini ada semacam hegemony of meaning yang mendefinisikan bahwa satu-satunya metode rekruitmen yang mendemokratis hanya melalui pemilihan secara langsung. Euphoria pemilihan telah meminggirkan kekhasan demokrasi Indonesia yang berbasis pada prinsip kekeluargaan. Wajah demokrasi Indonesia serta-merta bermetamorfosa menjadi westernistic.
Demokrasi sebenarnya merupakan dimensi humanitas atau kebudayaan, karenanya demokrasi dapat dipandang sebagai salah satu hasil kreativitas manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban. Sementara konsepsi demokrasi sendiri dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, seperti: welfare democracy, people’s democracy, social democracy, participatory democracy, dan sebagainya. Puncak perkembangan demokrasi yang paling diidealkan pada akhirnya adalah demokrasi yang berdasarkan atas hukum atau constitutional democracy. Dalam perspektif ini, demokrasi terwujud secara formal dalam mekanisme kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan kenegaraan. Sedangkan secara substansial demokrasi memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam perilaku budaya masyarakat setempat.
Mengacu kepada konsepsi constitutional democracy, maka DIY telah diatur di dalam pasal 18B UUD 1945, dan juga telah diatur di dalam pasal 91 huruf b UU no.5 tahun 1974 yang mengamanatkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY, tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, selanjutnya pada pasal 122 UU.no22 tahun 1999 dan pasal 226 ayat (3) UU.no.32 tahun 2004 menyebutkan keistimewaan provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU.no.5 tahun 1974 adalah tetap.
Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, maka apa yang telah berjalan selama ini dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi dapat dikatakan telah berjalan demokratis. Asumsinya bahwa sebuah UU disusun oleh DPR RI bersama pemerintah yang merupakan representasi dari kehendak rakyat Indonesia dan kehendak penyelenggara Negara, sehingga ketika produk undang-undang yang dihasilkan dapat dijalankan, hal inilah bentuk constitutional democracy.
Seharusnya kita tidak resisten dengan bentuk demokrasi yang telah berjalan di DIY seperti sekarang ini yang lebih mengedepankan asas musyawarah mufakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam takaran teoritik negara-negara barat bahkan mulai berkiblat pada Deliberative democracy sebagaimana beberapa contoh berikut ini: Jon Elster dalam “Deliberative Democracy” (Canbrige UniversityPress), Christoper F Zurn dalam “Deliberative Democracy and The Institutions of Judicial Review” (Canbrige UniversityPress), Beau Breslin dalam “The Commutarian Constitutions” (The Jhon Hopkins University Press,Baltimore and London).
Dari uraian tersebut diatas tidaklah berlebihan bila pengakuan keistimewaan DIY tetap dipertahankan, tidak saja merupakan keniscayaan sejarah dan konstitusi melainkan juga fakta sosiologis yang sampai sekarang masih didukung oleh sebagian besar masyarakat DIY, dan masyarakat secara luas. Hal ini terbukti dari fakta empiric seperti: Keputusan DPRD Kabupaten dan Kota DIY, Keputusan DPRD Provinsi DIY, dan keputusan DPR RI yang telah memberikan dukungan atas keistimewaan DIY. Representasi dukungan secara lebih luas juga pernah dibuktikan di dalam ruangan ini, ketika RUUK dibahas pada periode sebelumnya.